Cara Kalsik Mengusir Tikus

Oleh Dedi Nursyamsi, Syaiful Asikin, dan Destika Cahyana SP *)

Ini kisah petani rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, di masa silam. Mereka mengumpulkankulit jengkolPhitecellobiumlobatum dari ladang, pasar tradisional, atau dapur lalu menyebarkan di sawah. Dengan cara itu sawah bebas dari serangan tikus.

Itu teknik lama mengusir tikus yang digunakan turun-temurun petani di Tanah Banua. Dengan cara itu selama berabad-abad di masa silam tak pernah terjadi ledakan hama tikus. Sayang, seiring waktu cara sederhana itu tergusur oleh kehadiranrodentisida (racun tikus, red) sintetis yang praktis digunakan. Racun tikus cukup dicampur dengan umpan, lalu diletakkan di tempat yang biasa dilewati tikus.

Ironisnya—saat di pasaran racun tikus begitu banyak tersedia—petani generasi sekarang justeru takluk pada tikus. Musababnya, tikus tergolong mamalia pandai. Saat menemukan makanan, ia mencicip sedikit demi sedikit untuk mengetahui reaksi dalam tubuh. Bila tidak terjadi reaksi, mereka melanjutkan melahap makanan. Namun, bila tubuh merasa tidak beres, tikus akan menghindari makanan itu sehingga tetap selamat, bahkan menjadi resisten.

Menghindar

Tikus juga pintar mengenali umpan dalam perangkap. Bila seekor tikus terjebak dalam perangkap, tikus lain segera mengenali umpan—beserta perangkatnya—itu sebagai jebakan. Maka komunitas tikus tersebut bakal menghindari. Karena itu populasi tikus sulit ditekan. Apalagi tingkat kelahiran tikus tinggi. Satu induk dapat melahirkan 5—8 ekor anak. Pantas jumlah tikus di sawah kerap meledak meski perang racun tikus sudah dilakukan. Perang melawan tikus pun seperti tiada akhir.

Berbeda dengan racun atau perangkap, kulit jengkol tidak membunuh tikus. Aroma yang dikeluarkan kulit jengkol membuat tikus tidak betah. Maka ketika lubang tikus di sawah diletakkan kulit jengkol, mereka menghindar dari area tersebut. Cara lain dengan menghancurkan kulit jengkol, melarutkannya dalam air, lalu menyemprotkan larutan kulit jengkol ke lahan. Dengan cara itu tikus menghindar dari sawah.

Cara yang disebut terakhir memang lebih merepotkan bagi petani zaman sekarang. Namun, berdasarkan riset Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, cara kedua justeru bermanfaat ganda. Pasalnya, larutan jengkol juga bersifat insektisida.  Pengamatan Balittra di lahan rawa dan sayuran yang disemprot larutan kulit jengkol berdosis 1,5—2,0   g/liter air terbebas dari tikus, hama penggerek batang padi, hama putih palsu, hama putih ulat grayak, ulat jengkal, ulat buah dan ulat plutella.

Padahal, area lain yang tidak menggunakan larutan jengkol terserang hama tikus, penggerek batang padi, ulat grayak, ulat jengkal, hama putih palsu, dan hama putih dengan tingkat kerusakan 35- 75%. Keampuhan kulit jengkol sebagai rodentisida dan insektisida setara senyawa kimia  antikoagulan berbahan aktif Bromadiolone.

Riset Terry  Pakki,  Muhammad Taufik, dan AM Adnan  Sulawesi Selatan—dari Jurusan Agroteknologi, Konsentrasi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, dan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, menguatkan penelitian Balittra. Bedanya Terry dkk, bukan menguji daya racun kulit, tapi ekstrak biji jengkol terhadap perilaku mencit di laboratorium. Mereka menimbang biji jengkol tua sesuai perlakuan—200 g, 400 g, 600 g, dan 800 g—lalu  memblendernya dan menambah 1 liter air. Larutan lalu disaring dan diaplikasikan. Sebagai pembanding dibuat pula kontrol berupa air bening tanpa ekstrak jengkol.

Caranya, cairan biji jengkol diberikan pada wadah terbuka berdiameter 5,8 cm dan tinggi 11,4 cm masing-masing sebanyak 200 ml kemudian disimpan dalam kurungan tertutup bersama mencit. Kurungan berupa kotak kawat ukuran 27,4 cm x 16,5 cm x 13,2 cm. Kurungan uji ditutup rapat dengan plastik transparan agar bau jengkol bertahan.  Sementara mencit yang digunakan mencit betina dewasa—matang  seksual—berumur 3 bulan. Selama penelitian, mencit diberi pakan roti.

Hasilnya mencit yang diberikan ekstrak jengkol di dalam kurungan terlihat gelisah pada hari pertama dan berusaha menjauhi sumber bau. Pada hari ke-2 tikus mulai bergerak lambat, lalu pada hari ke-3 dan seterusnya mencit lebih banyak diam hingga mati. Mencit tercepat mati pada perlakuan 200 g dan 400 g yaitu pada hari ke-10 dan hari ke-13. Sementara perlakuan  600 g dan 800 g sampai hari ke-18. Pada 2 perlakuan yang disebut terakhir tikus, perut dan leher mencit membengkak. Sementara mencit kontrol gelisah pada hari pertama, tetapi berangsur normal pada hari kedua, lalu bertahan hidup hingga hari terakhir pengamatan.

Diduga biji jengkol mengandung zat racun ureum yang terlarut pada larutan. Ia lalu menguap dan meracuni tikus yang menghirupnya. Asam jengkolat juga dapat mengikat unsur belerang (sulfur) yang terlarut di air rendaman. Tikus yang diberi dosis ekstrak 200 g dan 400 g lebih cepat mati karena larutan lebih encer sehingga senyawa racun cepat menguap dan meracuni tikus. Sementara dosis 600 g dan 800 g lebih pekat sehingga sulit menguap. Namun, efek racun jengkol pada dosis pekat lebih ganas: leher dan perut tikus bengkak.

Sejumlah literatur juga menyebut senyawa kelompok alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin dan saponin pada jengkol ikut berperan sebagai rodentisida dan insektisida.  Paduan senyawa itu mengeluarkan aroma tajam, penghambat selera makan, dan toksik bagi hama dalam kadar tinggi. Pantas, istilah keracunan jengkol bukan monopoli hama. Jengkol pun meracuni manusia. Jengkol hanya aman dikonsumsi dalam jumlah banyak bila sudah diperam dalam tanah untuk menetralkan racun.

Bahan lain

Sejatinya bukan hanya kulit jengkol resep petani di masa silam untuk mengusir tikus atau hama lainnya. Beragam  biopestisida—berupa biorodentisida dan bioinsektisida—yang lain ialah bintaro (Cerbera odollam) dan mengkudu (pace; Morinda citrifolia). Caranya pun hampir mirip. Untuk mengusir tikus, cukup letakkan buah bintaro atau buah mengkudu di mulut lubang tikus atau di tempat yang biasa dilewatinya.

Bedanya buah bintaro digunakan yang muda, sementara mengkudu yang tua. Itu karena racun buah bintaro—cerberin—lebih banyak keluar dari buah muda. Sebaliknya aroma tajam mengkudu lebih kuat pada buah tua. Sementara untuk menghalau hama serangga, kedua tanaman tersebut—bagian daun dan buah—dapat diekstrak, lalu disemprotkan ke lahan yang terkena serangan. Pengalaman Balittra, bintaro dapat menghalau hama ulat grayak, hama plutella, ulat jengkal, penggrek batang, hama putih palsu dan hama putih. Pun mengkudu dapat mengusir ulat grayak dan  ulat sawi.

Pengetahuan masyarakat lokal di masa silam itu tentu modal berharga bagi dunia ilmiah. Ia dapat diuji efektifitasnya di masa kini. Bahkan terbuka juga peluang memodifikasi bahan-bahan itu menjadi formula yang lebih efektif.
*) Peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Share this :

Previous
Next Post »